Find in Library
Search millions of books, articles, and more
Indexed Open Access Databases
PROSES RESILIENSI JURNALIS RADIO 68H PASCA BOM BUKU 15 MARET 2011
oleh: Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo
Format: | Article |
---|---|
Diterbitkan: | Konsorsium Psikologi Ilmiah Nusantara 2013-12-01 |
Deskripsi
On March 15, 2011, a bomb glued to a book and received by 68H News Agency (68H) exploded, causing severe injury to a police oficer on duty. Yet the journalists resumed work, advocated their stance for freedom of expression and continued broadcasting. Resilience, a successful adaptation to adversity to “bounce back” is shown in this incident by 68H journalists and is relevant to any journalists working in Indonesia as one of the ive deadliest countries in 2010 according to Committee to Protect Journalists. Using semi-structured interview and ‘resilience-as-a-process’ perspective, this research describes how 68H journalists undergo their process, what occurs as they become resilient, resources they utilize, and consequent changes in their ability to maintain their resilience in the future. Results show that regrouping and capacity building are pivotal in the stages of their resilience process. It concludes that collective identity and leadership, in perceiving ‘us’ versus ‘them’ and in promoting values important to them, as well as social supports and shared experiences of past successes, are main resources of their resilience. Lessons learned from their error of judgement of threat assessment leads to changed attitude and security reinforcement that contribute to their future resilience. --- Pada tanggal 15 Maret 2011, sebuah bom yang direkatkan dalam sebuah buku diterima oleh Kantor Berita 68H kemudian meledak, menyebabkan cedera parah pada petugas kepolisian yang sedang bertugas. Meskipun demikian, para jurnalis terus bekerja dan menyuarakan dukungan mereka atas kebebasan berekspresi. Resiliensi yakni adaptasi yang berhasil dalam mengatasi tantangan, tampak pada bagaimana jurnalis 68H berhasil “melenting kembali.” Bagi jurnalis yang bekerja di Indonesia, yakni satu dari lima negara yang paling mematikan di tahun 2010 menurut Committee to Protect Journalists, resiliensi menjadi penting untuk dipelajari. Menggunakan wawancara semi-terstruktur dan perspektif ‘resiliensi sebagai proses’, penelitian ini menggambarkan bagaimana jurnalis 68H menjalankan proses tersebut, sumber daya yang mereka gunakan serta konsekuensi pada kemampuan mereka untuk mempertahankan resiliensi di masa mendatang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penguatan kelompok dan peningkatan kapasitas penting dalam tahap-tahap proses resiliensi mereka. Disimpulkan bahwa identitas kolektif dan kepemimpinan dalam mempresepsikan ‘kita’ versus ‘mereka’ dan dalam mempromosikan nilai-nilai yang penting bagi mereka juga dukungan sosial serta pengalaman keberhasilan bersama di masa lalu, merupakan sumber-sumber daya utama resiliensi. Hikmah ajar dari kekeliruan menimbang ancaman berkontribusi pada perubahan sikap dan peningkatan keamanan demi mempertahankan resiliensi di masa mendatang