Kritik terhadap Fikih Poligami: Studi atas Pemikiran Siti Musdah Mulia

oleh: Zulfitri Zulkarnain Suleman, Zulkarnain Suleman

Format: Article
Diterbitkan: LP2M IAIN Sultan Amai Gorontalo 2019-06-01

Deskripsi

Tulisan membahas pemikiran Siti Musdah Mulia tentang penolakannya terhadap poligami karena dinilai melecehkan dan menghina martabat perempuan. Undang-Undang Perkawinan dan KHI yang melegalkan poligami menurutnya lebih berpihak kepada kepentingan laki-laki dan mengabaikan perempuan. Ketentuan poligami di dalam Undang Undang Perkawinan dan KHI berimplikasi kepada psikologis terhadap perempuan; kekerasan terhadap perempuan; dan sosial terhadap masyarakat. Implikasi ini dengan nyata telah menimbulkan dampak nagatif seperti maraknya perkawinan di bawah tangan (sirri) atau perkawinan tidak tercatat, tingginya angka kekerasan dalam rumah tangga, tingginya kasus pelanggaran hak-hak anak, terlantarnya para istri dan anak-anak, terutama secara psikologis dan ekonomi. Berdasarkan prinsip ushul fikih yang menolak ekses (dampak) negatif (mafsadat/kemudharatan) daripada kemaslahatan, Siti Musdah Mulia berksimpulan bahwa poligami dapat dinyatakan   haram  lighairihi  (haram  karena  eksesnya).  Selain  pertimbangan ushul fikih Siti Musdah Mulia melakukan reinterpretasi atas al-Quran (surat al- Nisa‟ ayat 3) dan hadis dengan pendekatan tematik-holistik dan kontekstual- historis. Dengan pendekatan ini, Siti Musdah Mulia menyimpulkan bahwa ayat Q.S. al-Nisa‟ayat 3 bukan ayat yang berisi anjuran untuk poligami, melainkan lebih pada memberikan solusi agar para wali terhindar dari berbuat tidak adil terhadap anak yatim yang berada dalam perwalian mereka, yaitu dengan perempuan lain saja. Q.S. al-Nisa‟: 3 ini berada dalam satu tarikan nafas dengan bolehnya menggauli budak perempuan tanpa nikah. Kini perbudakan dan menggauli budak perempuan tanpa nikah tidak dipraktikan, meskipun ayatnya masih tercantum dalam al-Quran. Karena perbudakan tidak dipraktikan karena dinilai sebagai kejahatan kemanusiaan. Jika perbudakan dilarang dan ditinggalkan, sementara ayatnya masih ada, maka sejatinya poligami dilarang dan  ditinggalkan  karena  dampak  buruk,  meskipun  ayat  membolehkannya. Dalam konteks ini penolakan Nabi saw. atas putrinya dimadu oleh Ali bin Abi Thalib  dapat  dipahami  bahwa  poligami menyisakan  derita  kepada  istri  dan anak-anak.